Oh, api yang gagah, menari riang di kebun-kebun mewah,
Kau melahap daun hijau dengan nafsu yang parah.
Lahan eksotik mereka, hasil wang tak berbatas,
Kini jadi abu, tak lebih dari debu panas.
Pepohon palma berbaris angkuh di tanah,
Ah, kau tiupkan salam pada angin marah.
“Siapa suruh kau berdiri megah di sini?
Bukankah tanah itu dulu milik tuhan kami?”
Ranum buah yang konon untuk pasar dunia,
Kini terbakar, menyebarkan aroma sia-sia.
Siapa yang peduli jika bumi makin lelah,
Selagi poket terus gemuk dan basah?
Hei, para tuan besar, lihatlah ciptaanmu,
Ladang berjuta ekar, kini jadi pekat abu.
Tadi kau bangga menyebut hasil dalam dolar,
Sekarang, apa gunanya bila api jadi penebar?
“Ini bencana, bukan salah kami,” kau kata,
Oh ya? Siapa yang rakus membuka tanah hutan tua?
Kini badai api datang memberi pelajaran,
Tapi akankah kau belajar, atau cuma menunggu hujan?
Biarlah tanah ini beristirahat dalam hitam,
Mungkin nanti ia akan bangkit, tapi bukan untukmu, Tuan.
Badai api, kau hanya mengembalikan hak,
Pada alam yang lelah, pada mereka yang telah lama disakiti tamak.